Kopinya atau Baristanya?

(Image source : Pexels.com )

Jadi ceritanya beberapa hari lalu aku mengunjungi kedai kopi yang terletak di tengah kota Bandung. Suasananya nyaman, di sana banyak juga anak-anak muda yang berkumpul, ngobrol, dan tentunya sambil ngopi. Kalo aku sih, sendirian pergi ke sana.

Aku sendiri memesan secangkir americano dari kedai kopi tersebut dan sepiring pisang goreng dengan topping cokelat. Aku mengamati suasana dan dekorasi kedai kopi,

Pandanganku begitu saja terjatuh pada seseorang di balik mesin-mesin pembuat kopi. Dan tanpa sengaja dia juga menatap kearahku.

Degg, dengan cepat langsung saja kualihkan pandanganku darinya. Pura-pura seakan tak pernah terjadi adu pandang sebelumnya.


Duh, aku malu.

Langsung saja kuambil cangkir kopi yang ada di depanku dan kuhirup aroma kopinya. Merasakan hangat yang berasal dari cangkir kopi. Hmm, aroma Americano selalu berhasil membawa 
sensasi tenang. 


Aku mengambil secarik kertas dari tasku. Lalu aku menulis 


"Warung Kopi Purnama"

Sapa matamu kala itu,
ada yang bergetar,
menjalar,
mengakar.

pun hati lantas berharap,

semoga kita berjumpa pula.


Usai menulis, lantas aku membereskan semua barangku dan memasukkannya ke dalam tas. 
Huh, aku memegang ujung kertas dan membaca ulang tulisanku tadi. 

Mengumpulkan keberanian untuk apa yang akan kulakukan setelah ini.


Selesai menulis, lantas aku membereskan semua barangku dan memasukkannya ke dalam tas.
Huh, aku menggenggam ujung kertas dan membaca ulang tulisanku tadi. Mengumpulkan keberanian untuk apa yang akan kulakukan setelah ini.

Segera saja aku melangkahkan kakiku menuju arah si barista yang kutatap sedari tadi.
Setelah sampai di depan si barista, tubuhku mendadak kaku dan nafasku berhenti selama 2 detik.
"E eh m-mas, totalnya berapa?" ucapku sedikit terbata.
sambil tersenyum manis si mas barista menjawab "boleh langsung ke kasir saja , mbak"

aku tersenyum kikuk lalu berjalan cepat kea rah kasir dan membayar. Tak berani lagi aku untuk menatap lelaki tadi. Malu banget tau gak sih.
Lalu aku berjalan menuju pintu keluar.
“mbak!” aku menoleh. Ternyata si mas barista! Duh apa lagi sih. Rasa maluku yang tadi pun belum hilang. “iya?” lantas ia berjalan kearahku.
“ ini tadi jatoh mbak,” ia menyerahkan secarik kertas yang ternyata milikku.
Masih dengan perasaan malu aku berkata “ i-itu buat mas aja.” Lalu aku segera keluar dari cafĂ© meninggalkan si mas barista yang mengerutkan dahi kebingungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasakan "Jiwa" Era Joseon dalam Novel Mr.Sunshine

Bandung dan Bioskop-Bioskop Tua yang Luput oleh Zaman