Buku Bersampul Merah
Tak ada yang benar-benar istimewa pada tulisan ini.
Pada buku bersampul merah itu
tergores berlembar-lembar yang kurindukan. Pilu, kunang-kunang, harap, rasa
ketidakinginan, dan cinta. Mungkin bagi yang membaca tak akan begitu mengerti,
tak apa. Cukup kau baca dan hanya aku si penulis yang pahami.
Ini tentang ini-itu. Tentang hal-hal
menyangkut si Tuan. Semua hal yang membuatku tersenyum, tertawa, haru, kecewa,
marah, dan sedih.
Tuan yang pernah singgah, tapi tak
sungguh (kalau kata Amigdala).
Untukmu, semoga dalam sepucuk surat
yang kutulis kemarin, rindu dapat mendarat pada hatimu dengan manis. Tak
sedikitpun kuberharap, apalagi balasan darimu.
“aku senang kau tersenyum.” Tuan
berkata.
“benarkah?” jawabku terharu.
Lalu malam-malam berjalan indah
seiring detak jantungku menari.
Wahai kamu, bukan maksudku ingin
mengikatmu dengan kencang, namun hanya berharap kau yang mengetuk, akan
tinggal. Bukan seperti ini, bukan dengan kau datang tanpa permisi, lalu pergi
pun tanpa permisi.
Karena aku tak bisa baca matamu, aku
tak bisa baca pikiranmu.
Maaf jika aku arogan.
Karena Tuan, tak lagi ingin kududuk bersamamu di setiap detik waktunya.
Baik itu di malam tahun baru, di pagi cerah hari Minggu, juga di sore seperti
saat kau bilang sayang padaku.
Bandung, 2020
Komentar
Posting Komentar
Leave your comment after reading^^
pembaca yang baik akan meninggalkan komentar setelah membaca ;)