PERBURUAN (2019) REVIEW



'Pulang Kampung' ke Masa Perjuangan dan Merayakan Karya Pram lewat Film Perburuan

Sutradara: Richard Oh
Produser: Frederica
Pemain:  Adipati Dolken
                Ayushita Nugraha
                Rizky Mocil
                Ernest Samudra
                Michael Kho
               Khiva Iskak
               Egy Fedly
Durasi: 98 menit
Negara: Indonesia
Bahasa: Indonesia










Film Perburuan yang diangkat dari buku karangan Pramoedya Ananta Toer dengan judul yang sama mulai tayang pada 15 Agustus 2019 di bioskop-bioskop tanah air.
Indonesia dijajah Jepang setelah Jepang mengalahkan Belanda yang telah bercokol di Bumi Nusantara selama kurang lebih 350 tahun. Pemerintah pendudukan mendirikan PETA guna melatih orang-orang pribumi belajar peperangan dan persenjataan guna kemerdekaan Indonesia kelak. Film ini mengisahkan tentang Hardo yang merupakan seorang mantan shodanco (pimpinan kompi) Pembela Tanah Air (PETA) di daerah Blora, Jawa Tengah, yang melakukan pemberontakan terhadap pasukan Jepang, namun gagal. Ia bersama kawan-kawan yang melakukan pemberontakan bersamanya berhasil lolos dari Jepang dan hidup melarat untuk menyembunyikan identitas.

Ia dan kawan-kawannya terus-menerus diburu selama kekuasaan Jepang masih bertahan di Indonesia. Seakan kemanapun pergi, maut selalu mengintai. Karena sekalinya tertangkap Jepang, pedang Kempetai (polisi militer Jepang) akan menebas lehernya.

Meski gagal dalam pemberontakan dan dikhianati, namun ia masih menyimpan harapan dalam hatinya akan masa depan Indonesia yang membaik. Terasa ketika ayah Ningsih, kekasihnya, membujuk Hardo untuk pulang. Hardo menolak dan menyuruhnya menunggu. Sampai Nippon kalah.

Film ini seakan mengajak saya untuk kembali mengingat peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa penjajahan dan bagaimana perjuangan bangsa meraih kebebasan. Lalu memaknai lagi arti kemerdekaan dan kebebasan individu.

Adipati Dolken dapat memainkan perannya sebagai Hardo dengan baik. Bahkan ada beberapa adegan yang membuat saya merinding, di antaranya adalah adegan saat Hardo bermonolog di dalam gua. Akting Adipati tak banyak ekspresi namun tetap terasa kepemimpinannya. Setuju dengan apa yang dikatakan sang sutradara, Richard Oh yang dilansir dari kapanlagi.com, "Waktu casting pemain, kita sudah tahu kalau sosok Hardo di mata pembaca akan berbeda-beda. Tapi dalam benak saya, Hardo mestinya seseorang yang tidak begitu ekspresif dan itu kita dapatkan pada Adipati. Tanpa banyak ekspresi, dia bisa memancarkan leadership-nya, perjuangan penuh integritas,".

Sejak saya bergabung di Komunitas LayarKita (salah satu komunitas apresiasi film, musik, dan buku di Bandung), saya mulai banyak menikmati karya para sineas dunia yang film-filmnya jarang diputar sehingga para sineas ini jadi tidak begitu dikenal di Indonesia. Mengapa saya mengatakan ini, karena di film ini saya melihat akting Ernest Samudera yang memerankan Shodanco-Dono sangat mirip dengan aktingnya Toshiro Mifune di film-filmnya Akira Kurosawa. Saya sebagai penonton awam sama sekali tidak mengetahui apakah Richard Oh ‘memerintahkan’ Ernest Samudera untuk berperan demikian, tapi saya sangat yakin Richard Oh memiliki segudang referensi yang sangat jauh lebih banyak dari saya, sehingga sangat mungkin film-filmnya Kurosawa memberi sedikit sentuhan pada Perburuan ini.

Musik yang melatarbelakangi seluruh film ini dimainkan dengan sentuhan orkestrasi, sehingga kesan megah, galak, bengis, sendiri, putus asa dan berbagai rasa dan nuansa lainnya menjadi sangat terasa ‘terwakili’, hal ini memberi nilai tambah tersendiri bagi saya.

Ditulis saat Pramoedya berada di balik jeruji besi dan terbit pada tahun 1950, Perburuan merupakan salah satu novel terbaik Pram. Seperti kita tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu penulis terbaik dari Indonesia dan terkenal dengan karya-karyanya yang puitis dan cukup berat namun banyak digemari oleh pecinta sastra di Indonesia. Ada banyak buku-buku Pram yang mengambil setting2 tertentu, seperti Perburuan yang menambil Setting sekitar perang kemerdekaan, juga beberapa bukunya yang lain mengambil setting ini seperti Larasati, Bukan Pasar Malam, Midah simanis bergigi emas, Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

Pramoedya, dengan riset sejarahnya yang luar biasa, juga mengarang beberapa novel lain dengan setting Mataram di kisaran abad 11-13 seperti Arok-Dedes atau abad 15-16 dengan mahakaryanya Arus Balik. Dan yang membuat Pramoedya terkenal adalah 4 novel karyanya yang dia tulis sewaktu dia dipenjara di Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. 4 roman ini mengambil setting Indonesia di masa penjajahan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Film Perburuan ditayangkan bersamaan dengan film karya Pram lainnya yakni Bumi Manusia pada 15 Agustus 2019. Dilansir dari artikel CNN Indonesia, produser Falcon Pictures, Frederica menegaskan penayangan bersamaan itu bukan untuk menonjolkan persaingan antar kedua film, tetapi lebih kepada cara merayakan karya-karya seorang Pramoedya Ananta Toer.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasakan "Jiwa" Era Joseon dalam Novel Mr.Sunshine

Bandung dan Bioskop-Bioskop Tua yang Luput oleh Zaman

Kopinya atau Baristanya?